Aksara Hanacaraka yang ada di kampung adat Cireundeu adalah salah satu aksara yang turun temurun dari nenek moyang pada zaman Adji Saka. aksara Hanacaraka digunakan oleh masyarakat adat Cireundeu yaitu sebagai identitas diri yang termasuk dalam “cara ciri bangsa”. Dimaksud “cara ciri bangsa” yaitu bahwa disetiap bangsa-bangsa mempunyai identitas masing-masing. Ada empat “cara ciri bangsa” terdiri dari; rupa, adat, bahasa, aksara dan budaya.
Awal mula hidupnya aksara Hanacaraka di kampung adat Cireundeu tidak tahu pastinya, hanya dahulu di Cireundeu ada seseorang yang biasa disebut Abah juru tulis menguasai beberapa aksara, disebut juru tulis karena beliau gemar tulis menulis dan menguasai beberapa aksara yaitu; aksara sunda, aksara kanji, aksara arab. Salah satu Abah Juru tulis bernama Nurhalim, yaitu uyut dari Kang Jajat yang sekarang selaku sebagai Nonoman Muda pengajar akasara Hanacaraka di Kampung adat Cireundeu. Karya peninggalannya Abah Juru tulis pada zaman jepang tidak tahu di musnahkan atau dihancurkan, karena sampai saat ini hanya sebagai cerita dari mulut kemulut masyarakat adat Cireundeu.
Aksara Hanacaraka ramai dipakai dan diperbincangkan oleh masyarakat Sunda pada tahun 1800-an. Di masyarakat adat Cireundeu sendiri aksara Hanacaraka dipakai pada saat acara-acara adat seperti; pernikahan, syukuran, dan lain-lain. Dalam acara pernikahan aksara Hanacaraka dipakai untuk menuliskan berita acara. Pada tahun 2000, kampung adat Cireundeu mengadakan pembelajaran aksara sunda Hanacaraka yang diajarkan oleh Bah Emen untuk masyarakat adat Cireundeu.
Dalam Pelestariannya aksara Sunda Hanacaraka mengalami hambatan di tahun ke tahunnya, faktor utama dari hambatan tersebut yaitu minat masyarakat kampung adat Cireundeu yang sangat kurang, selain itu tenaga pengajar kurang begitu banyak. Hingga akhirnya pada tahun 2017, kementrian pendidikan dan kebudayaan melaksanakan satu program tentang keaksaraan yang dilesenggarakan di RW 10. Kementrian pendidikan dan kebudayaan dalam hal ini ikut menginisiasi tercapainya pembelajaran yang diadakan di kampung tersebut selama 6 bulan. Mekanisme yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan dan Budaya (kemendikbud) yaitu ikut mengikuti pembelajaran aksara Sunda Hanacaraka dengan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu; sebagai dokumentasi, peserta dan kesekertariatan. Setelah pendataan dilakukan, selanjutnya kemendikbud di bantu dengan beberapa masyarakat adat mulai mendapatkan masyarakat yang ingin belajar aksara Sunda Hanacaraka sebanyak 100 orang. 100 orang yang tercatat sebagai peserta didik terdiri dari usia anak-anak sampai dewasa. Pendataan ini selain bertujuan untuk sumber pustaka kemendikbud juga sebagai bahan acuan masyarakat adat kampung Cireundeu. Agar pemanpatan waktu berjalan maksimal maka, maka 100 orang tersebut dibentuklah menjadi 10 kelompok bertujuan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran aksara Sunda Hanacaraka. 10 kelompok tersebut memiliki gurunya masing-masing dan dengan metode seperti ini masyarakat adat kampung Cirendeu merasa sangat antusias untuk mengikuti proses pembelajaran aksara Sunda Hancaraka.
Program dari Kementrian Pendidikan dan Budaya tentang keaksaraan dipandang penulis sangat baik dan membantu masyarakat Adat Cireundeu khususnya nonoman muda untuk menyebarluaskan aksara Sunda Hanacaraka ini, meskipun memang belum ada perubahan secara signifikan. Hasil dari program yang di gagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan adalah masyarakat Sunda khususnya yang berada dalam kawasan kampung adat Cirendeu dapat menguasai aksara Sunda Hanacaraka, bahkan dampak program yang digagas oleh kementrian pendidikan tersebut dapat terasa oleh seluruh masyarakat sunda (Jawa Barat).
Proses pembelajaran aksara Sunda Hanacaraka biasanya dilaksanakan setiap hari sabtu selama 2 jam, dimulai pukul 15.30 WIB sampai 17.30 WIB. Pembagian waktu tersebut sudah terasa ideal mengingat kesebukan yang dilakukan oleh masyarakat kampung adat Cireundeu sangat padat, maka pemanpatan durasi pengajaran dalam pelaksanaan sangat menentukan optimalisasi penangkapan proses belajar mengajar kampung adat Cireundeu, pada satu jam di pertemuan pertama diisi dengan pengengecekan tugas yang diberikan sebelumnya. Satu persatu anak menghadap kepada pengajar untuk diberi tugas, pengajar hanya memuliskan kata perkata yang harus murid tuliskan dalam aksara Sunda Hanacaraka, begitupun seterusnya. Tokoh – tokoh atau pengajar aksara Sunda Hanacaraka belum mendapatkan kurikulum belajar mengajar untuk pelajaran aksara sunda Hanacaraka ini, jadi hanya pembelajaran secara langsung, tidak terikat oleh aturan dan tata tertib yang biasa ada di sekolah formal lain.
Dilanjur 15 menit untuk istirahat, biasanya murid melakukan permainan anak kampung (kaulinan Barudak), seperti; sondah, congklak, sepdur, adapun di isi dengan membeli makanan ringan dan bersepeda. Di 45 menit akhir, pengajar melihat psikologis murid apakah bisa untuk melanjutkan pengajaran aksara Sunda Hanacaraka atau melanjutkan bermain dengan anak-anak. Jika pengajar melihat murid-muridnya tidak siap untuk melanjutkan, pengajar mengintruksikan murid-murid untuk bermain dan jika terlihat semangat, 45 menit terakhir murid-murid kembali mengerjakan tugas-tugas yang diberikan pengajar.
Nilai filosofis yang terdapat pada aksara Sunda Hancaraka merupakan muatan pengajaran yang harus diberikan pada tahapan dewasa, hal ini dilakukan mengingat pada usia dewasa, masyarakat kampung adat lebih mengenal nilai tatakrama secara matang, sehingga pengenalan metode pembelajaran Hanacaraka dinilai sangat sebanding dengan usia mereka. Tujuan dengan dipelajarinya nilai filosofi pada aksara Sunda Hanacaraka yaitu untuk memperkuat rasa memiliki dan rasa mencintai terhadap aksara Sunda Hanacaraka.
Jika pada usia dewasa ditanamkan nilai filosofi, lain halnya dengan usia anak-anak 9-16 tahun, mereka hanya diajarkan cara penulisan dan bentuk Hanacaraka datasawala padajayanya mangabanga nya. Huruf Ha, Na, Ca dan seterusnya untuk tahap pertama. Di tahap kedua pengajar mengenalkan kata-kata dan pangwangun sora, contohnya; suku, boboko, bale, pramuka, bibi, sawah, layar dan lain-lain yang di tuliskan dengan aksara Sunda Hancaraka menggukanan pangwangun sora. Ditahapan terakhir, capaian pengajar bahwa murid dapat membaca dan menuliskan kalimat panjang yang mepergunakan papasangan. Setelah murid dapat menguasai hal tersebut, murid bisa membantu pengajar dalam mengecek tugas yang dikerjakan murid lainnya di tahap pertama. Anak-anak yang belajar aksara SundaHancaraka tidak dituntut untuk 1 bulan harus bisa menguasai, pembelajaran aksara ini tidak terburu-buru dan tidak ada ujian tiap semesternya seperti yang ada di sekolahan pada umumnya. Pengajaran ini bertujuan untuk mengenalkan, melanjutkan tongkat estapet dari nenek moyang kepada generasi muda bahwa kita memiliki identitas sendiri mengenai aksara.
Comments